Direktorat Jenderal
Pajak menegaskan kasus dugaan pidana pajak tiga perusahaan tambang milik Grup
Bakrie tak terkait dengan kasus royalti batu bara yang juga melibatkan enam
perusahaan tambang, termasuk dua perusahaan milik grup yang sama, beberapa
waktu lalu.
"Ini persoalan
pajak saja," kata Direktur Jenderal Pajak, Mochamad Tjiptardjo, usai rapat
pimpinan Departemen Keuangan, Jakarta, Rabu (16/12). Dia mengatakan, kasus yang
melibatkan PT Kaltim Prima Coal, PT Bumi Resources Tbk, dan PT Arutmin Indonesia
ini sama seperti kasus dugaan pidana pajak lainnya.
Kasusnya berawal dari
informasi yang masuk dari intelijen Direktorat Jenderal Pajak. "Kalau gak
ada pidana, selesai. Kalau ada pidana ya teruskan," ujar dia. Hingga kini,
dari tiga perusahaan tadi memang ada dua yang masuk dalam tahap penyidikan.
Selain itu, penyidik pajak juga melakukan pemeriksaan bukti permulaan terhadap
satu perusahaan.
Disinggung soal
permintaan klarifikasi kelompok usaha Bakrie atas kasus ini, Tjiptardjo
mengungkapkan komunikasi antara aparat pajak dan perusahaan-perusahaan terkait
sudah dilakukan sejak awal pemeriksaan. Bahkan, beberapa juga telah diperiksa
di kantornya.
Seperti diberitakan,
Direktorat Jenderal Pajak mengungkapkan penelusuran dugaan pidana pajak tiga
perusahaan tambang batubara di bawah payung bisnis Grup Bakrie senilai kurang
lebih Rp 2,1 triliun pada tahun pajak 2007. Tiga perusahaan tambang itu antara
lain PT Kaltim Prima Coal, PT Bumi Resources Tbk, dan PT Aruitmin Indonesia.
Ketiganya diduga
melanggar Pasal 39 Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan atau terindikasi tak
melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan secara benar. “Tekniknya bermacam-macam,
intinya tidak melaporkan penjualan yang sebenarnya, Itu kan modusnya,” kata
Tjiptardjo, Jumat (11/12).
Direktorat telah
menetapkan status penyidikan pada kasus pajak KPC sejak Maret 2009. Pada kasus
Bumi, Direktorat baru menerbitkan Surat Perintah Penyidikan dan segera akan
melayangkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan kepada Kejaksaan Agung.
Adapun terhadap kasus Arutmin, Direktorat baru melakukan pemeriksaan bukti
permulaan.
Belakangan kasus ini
jadi dikaitkan dengan kasus tunggakan royalti batu bara yang mencuat tahun
lalu. Dari enam perusahaan yang tersangkut kasus ini, dua perusahaan adalah
yang kini tersandung kasus dugaan pidana pajak, yakni PT Kaltim Prima dan PT
Arutmin. KPC diduga menahan pembayaran dana bagi hasil produksi batu bara
sebesar US$ 115,6 juta. Sedangkan Arutmin sebesar US$ 68,6 juta.
Di Solo sebanyak 18
kasus permasalahan pajak saat ini ditangani oleh Kantor Wilayah Direktorat
Jendral (Dirjen) Pajak Jawa Tengah II. Dari jumlah tersebut, pelanggaran pajak
justru dilakukan oleh badan usaha atau perusahaan yang bergerak dalam bidang
tekstil dan perdagangan.
Kepala Bidang
Pemeriksaan, Penyelidikan dan Penagihan Pajak (Kabid P4) Agus Sriyono,
mengatakan pelanggaran yang dilakukan badan usaha itu tersebar di wilayah Solo.
Bentuk pelanggaran yakni dalam bentuk pemalsuan faktur pajak yang biasanya
mencatut makelar pajak. “Dengan faktur pajak yang palsu maka Surat
Pemberitahuan Pajak (SPT) dari badan usaha pasti tidak tepat. Dengan SPT yang
salah itulah yang dapat merugikan negara,” papar Agus saat ditemui wartawan, di
kantornya, Kamis (26/1/2012).
Kendati demikian,
pihaknya juga memberikan kesempatan kepada wajib pajak atau masyarakat untuk
mengakui atas kesalahan SPT tersebut. “Dalam lembaga ini, kami memang ada
penyidik yang menangani kasus pelanggaran pajak,” kata Agus.
Lebih lanjut, Agus
memaparkan bahwa untuk menentukan bahwa kasus pelanggaran pajak dapat merugikan
negara, pihak Kanwil Dirjen Pajak Jawa Tengah II akan melakukan koordinasi
dengan pihak kepolisian dan kejaksaan. “Di samping itu, kami akan memanggil
saksi ahli yang mengetahui betul tentang perpajakan. Sebab, pembuktian atas
kerugiaan negara harus cermat dan hati-hati. Bisa jadi dari perusahaan yang
bersangkutan akan melakukan komplain balik ke Kanwil Dirjen Pajak jika keliru
dalam pembuktian tersebut” kata Agus.
Agus memberikan contoh
kasus permasalahan pajak yang kali pertama dimeja hijaukan. Kasus itu menjerat
terdakwa yang merupakan Direktur Utama PT Intertex, Saptoasih Sumiyati
Darmayatun. Terdakwa telah divonis bersalah oleh majelis hakim di Pengadilan
Negeri (PN) Solo, Rabu (25/1/2012). Terdakwa terbukti melakukan tindak pidana
di bidang perpajakan melanggar Pasal 39 ayat (1) dengan hukuman penjara selama
satu tahun dan denda Rp650 juta subsider tiga bulan hukuman penjara.
Di Semarang, Delapan
perusahaan yang berlokasi di Kota Semarang teridentifikasi melakukan
pelanggaran pajak. Meskipun jumlah nominalnya belum bisa disebutkan, kedelapan
perusahaan itu dinilai telah melakukan penggelapan pajak dengan tidak membayar
pajak sesuai dengan nilai nominal yang ditentukan.
''Berkas perkara ke
delapan perusahaan pelanggar pajak itu merupakan pelimpahan dari Kejaksaan
Negeri Semarang dan Kanwil Pajak Jateng akan melakukan pemeriksaan berdasarkan
UU Perpajakan,'' tutur Kakanwil Pajak Jawa Bagian Tengah I dan II Achmad Perris
kepada Suara Merdeka, kemarin.
Achmad mengungkapkan,
karena kasusnya masih dalam taraf pemeriksaan, pihaknya belum bisa menyebutkan
nama perusahaan dan jumlah nominal penggelapan pajak yang dilakukan
perusahaan-perusahaan tersebut.
Selain perusahaan, juga
ada beberapa wajib pajak (WP) perorangan/pribadi yang juga melakukan hal yang
sama. Yang bersangkutan juga sedang diperiksa berdasarkan data-data yang ada di
Kantor Pajak.
Menurut Achmad, selama
proses pemeriksaan pihaknya akan bekerja sama dengan Kejaksaan Negeri Semarang.
Agar pemeriksaan delapan perusahaan yang melanggar itu dapat dilakukan dengan
benar, Kanwil Pajak juga akan berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Pajak.
''Setelah turun jawaban
dari Ditjen Pajak, kami akan memberikan Surat Pemberitahuan Dilaksanakannya
Penyidikan (SPDP) kepada Kejaksaan Negeri Semarang,'' jelasnya.
Tergolong
Besar
Achmad mengungkapkan,
sebenarnya pelanggaran pajak paling banyak dilakukan oleh perusahaan jika
dibandingkan dengan perorangan. Jumlah nilai nominal yang digelapkan oleh
perusahaan itu pun tergolong besar. Adapun sanksi hukum bagi tiap pelanggar
pajak itu bervariasi, tergantung besarnya nilai pajak yang dilanggar. Semuanya
telah ditentukan oleh Undang-undang Perpajakan yang diterapkan di Indonesia.
Dijelaskannya, kantor
pajak juga berupaya agar penunggakan dan pelanggaran pajak bisa diselesaikan
secara persuasif melalui penyadaran kepada perorangan ataupun perusahaan.
Namun, jika langkah itu tidak mendapatkan perhatian dan segera diselesaikan
oleh pelanggar, jalur hukum tetap ditempuh.
Banyaknya celah hukum
yang lemah pada UU Perpajakan saat ini mengakibatkan peningkatan kasus
pelanggaran pajak. Hal itu juga dibuktikan oleh penemuan pelanggaran pajak dari
tahun ke tahun yang semakin meningkat.
''Salah satu upaya yang
akan dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak adalah dengan melakukan perubahan
undang-undang dan administrasi perpajakan yang akan diberlakukan mulai Januari
2005,'' jelas Achmad.
Ketua Sub Tim Perubahan
UU KUP Ditjen Pajak Mayon Winangun mengungkapkan dalam sosialisasi perubahan
undang-undang dan administrasi perpajakan yang berlangsung di Kanwil Pajak
Jateng kemarin, pelanggaran pajak terjadi di semua kanwil di Indonesia, dengan
jumlah yang bervariasi. Tanpa menyebutkan angka persisnya, menurutnya,
pelanggaran pajak tahun ini lebih besar dari tahun lalu.
Dan
kasus Pelanggaran Pajak yang paling Terdengar adalah kasus pelanggaran pajak
yang dilakukan oleh Gayus Tambunan.
Tim gabungan dari
berbagai instansi hingga saat ini belum menemukan adanya unsur pidana dalam
penyelidikan dokumen pajak 19 perusahaan terkait perkara dugaan mafia pajak
yang melibatkan mantan pegawai Ditjen Pajak, Gayus Halomoan Tambunan.
"Sampai saat ini
masih sebatas pelanggaran Undang-Undang Perpajakan, jadi domain (penyidikan)
Direktorat Jenderal Pajak," kata Kepala Bareskrim Polri Komjen Ito Sumardi
di Mabes Polri, Senin (23/5/2011).
Ito mengatakan, jika
nantinya ditemukan unsur pidana dalam penyelidikan tim, pihaknya siap
menindaklanjuti. "Sekarang masih dalam proses. Sampai sejauh ini belum
ada," kata dia.
Ketika ditanya dugaan
penyuapan para pengusaha kepada Gayus saat bekerja di Ditjen Pajak, menurut
Ito, penyidik belum dapat menemukan alat bukti untuk menindaklanjuti dugaan
itu. "Kita kalau menentukan tersangka harus ada alat bukti. Saat ini belum
ditemukan siapa yang memberikan (suap)," ucap Ito.
Seperti diberitakan,
hasil penyelidikan tim dari Bareskrim Polri, KPK, Kementerian Keuangan, Ditjen
Pajak, BPKP, dan akademisi, penanganan masalah pajak 19 wajib pajak dicurigai
merugikan keuangan negara. 19 WP itu bagian dari 151 WP yang dokumen pajaknya
diminta oleh Polri dari Ditjen Pajak.
Kepolisian telah
meminta laporan hasil analisis (LHA) milik 29 pegawai pajak ke PPATK sebagai
bahan penyelidikan. Sebanyak 29 pegawai pajak itu yang menangani masalah pajak
19 perusahaan bermasalah.
Dugaan adanya mafia
pajak di Ditjen Pajak terungkap setelah kepemilikan harta Gayus senilai Rp 100
miliar terungkap. Hingga saat ini, Polri baru menjerat Roberto Santonius,
konsultan pajak, terkait penyuapan senilai Rp 925 juta ke Gayus. Belum jelas
dari mana harta senilai Rp 99 miliar lainnya.
Sebelumnya, tiga
pegawai pajak juga dijerat terkait mafia pajak, yakni Bambang Heru Ismiarso,
Maruli Pandapotan Manurung, dan Humala Napitupulu.
Sumber :
- http://www.tempo.co/read/news/2009/12/16/087214215/Kasus-Pajak-Bakrie-Tak-Terkait-Royalti-Batu-Bara
- http://www.solopos.com/2012/01/26/kasus-pajak-18-perusahaan-di-solo-langgar-pajak-158234
- http://www.suaramerdeka.com/harian/0405/28/kot03.htm
- http://nasional.kompas.com/read/2011/05/23/15433162/Kasus.Gayus.Hanya.Pelanggaran.Perpajakan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar